Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya. Kemudian datanglah firman TUHAN kepadaku, bunyinya: "Masakan Aku tidak dapat bertindak kepada kamu seperti tukang periuk ini, hai kaum Israel!, demikianlah firman TUHAN. Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel! Yeremia 18 : 4-6
Sudah lebih dari satu kali saya membaca perikop tentang tukang periuk ini (Yeremia 18:1-17), tetapi baru belakangan ini ketika saya merenungkan tentang karya Tuhan dalam hidup saya, baru saya mengerti bahwa Tuhan ingin menjadikan kita baik pada pemandangan-Nya. Saya benar – benar mengalami bagaimana rasanya ‘dikerjakan kembali’ menjadi bejana lain yang baik pemandangan-Nya. Sungguh, terasa begitu mengonyolkan ketika saya harus jatuh bangun dalam lubang yang sama, tetapi saya merasakan anugerah Tuhan yang luar biasa ketika Tuhan tetap terus membentuk saya, sebab tujuh kali orang benar jatuh, ia akan tetap bangun kembali (Amsal 24:16). Bukan berarti saya menggunakan ayat itu sebagai alasan untuk jatuh bangun, karena bagaimana pun juga, setiap kali saya jatuh, ada harga yang harus saya bayar, setiap perbuatan kita pasti akan mendatangkan akibat, entah itu akibat baik atau buruk, tergantung dari perbuatan yang kita lakukan.
Saudara, hal mendasar yang perlu kita sadari adalah kita ini merupakan buatan tangan Tuhan. Bagi kita yang percaya kepada-Nya, sebenarnya merupakan sebuah kewajiban untuk menyerahkan hidup kita kepada-Nya agar Tuhan membentuk kita menjadi bejana yang indah. Menyerahkan hidup bukan berarti kita harus menjadi hamba Tuhan atau terjun dalam dunia pelayanan. Menyerahkan hidup adalah sebuah keputusan pribadi, dimana kita membiarkan Allah memerintah di dalam hidup kita. Dalam hidup kita memang ada kehendak bebas, dan itu merupakan anugerah dari Tuhan. Namun saya mengajak Saudara untuk menyerahkan kehendak bebas kita kepada Tuhan sebagai bukti cinta kita kepada-Nya, sebagaimana Ia menyerahkan tubuh-Nya untuk disalibkan karena Ia begitu mencintai kita. Jika kita tidak mau menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, maka pelajaran tentang tukang periuk ini tidak akan berdampak apa – apa bagi hidup kita. Mulailah berdoa dan serahkan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, Ia menunggu di depan pintu hati kita, lets open our heart!
Ketika saya membaca satu perikop ini, saya seperti mendengarkan sebuah curahan hati dari Tuhan. Sesungguhnya Tuhan itu selalu ingin memberkati kita, tetapi keadilan-Nya itu sempurna. Ketika Ia merancangkan suatu berkat, bagaikan seorang tukang periuk yang hendak membuat sebuah bejana yang indah. Tukang periuk itu setidaknya akan melakukan beberapa proses berikut :
1. Ia akan memilih tanah liat terlebih dahulu. Pastilah ia memilih tanah liat yang baik, tanah yang lembut dan mudah dibentuk, bukan tanah yang keras. Tuhanlah yang memilih kita, dan bukan kita yang memilih Tuhan. Jika saat ini kita mempercayai bahwa Yesus adalah Juruselamat kita, maka mari kita belajar untuk memiliki hati yang lemah lembut, karena ini adalah modal awal kita untuk dibentuk Tuhan. “Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.” (Yakobus 1:21)
2. Ia akan mulai mencampur tanah liat itu dengan air dan mulai membentuknya. Air itu dituangkan sedikit demi sedikit, dan mulai menyatu dengan tanah liat itu sehingga akan lebih mudah dibentuk. Seperti dalam Yakobus 1:21, firman itu harus kita terima dengan hati yang lemah lembut agar bisa menyatu dengan pikiran akal budi kita, dengan hati kita, dan masuk ke dalam roh kita. Firman itulah yang akan membentuk kehidupan kita. Yang tadinya tidak beraturan, akan mulai terbentuk menjadi sebuah bejana yang diingini-Nya. Ada satu proses dimana tukang periuk ini menemukan masih ada kerikil – kerikil kecil waktu ia membentuk bejana itu, ia pun membuangnya agar nanti ketika dibakar bejana itu tidak pecah (retak) gara – gara kerikil kecil itu. Begitu pun dalam hidup kita, ketika kita dibentuk dan masih ada ‘kerikil’ yang menghalangi pembentukan, maka Tuhan akan membuangnya.
3. Bila bentuknya sudah sesuai dengan seleranya, maka bejana itu akan dibakar dan dikeringkan. Proses pembakaran ini merupakan sebuah ujian, apakah kita benar – benar sudah menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, apakah motivasi kita benar dihadapan-Nya, atau malah masih ditemukan ‘kerikil’ dalam hidup kita. Bila masih ada kerikil, maka proses pembakaran ini akan menyebabkan bejana retak dan akhirnya harus dibuat ulang lagi. Tetapi kalau motivasi kita benar, kita ingin menyenangkan hati-Nya, maka pastilah ujian ini akan kita lewati. Bagaimana caranya? Ujian ini akan terasa berat, oleh karena itu ketika kita merasakan lelah, letih, lesu, dan berbeban berat, datanglah kepada Yesus dan Ia akan memberi kelegaan dan kekuatan baru. Intim dengan Tuhan! Itulah kunci untuk melewati segala macam ujian dan tantangan.
4. Sesudah kering, maka bejana itu akan dipoles, bagian – bagian yang masih kasar akan diamplas hingga halus. Seusai ‘dibakar’, maka kita akan ‘dipoles’ agar ketika orang menyentuh bejana itu tidak akan terluka. Sering kali ketika orang keluar dari proses, ia merasa lebih dari yang lain dan kemudian tanpa disadari ia menjadi batu sandungan bagi orang lain dan ia tidak akan masuk ke proses finishing sampai seluruh bagiannya menjadi halus. Yang akan mengamplas kita adalah didikan Tuhan, cintailah didikan-Nya karena itu yang akan ‘menghaluskan’ hidup kita.
5. Akhirnya masuk ke proses finishing, dimana bejana itu akan beri ukiran dan kemudian diberi warna agar tampak sempurna. Proses finishing saya gambarkan sebagai proses dimana kita akan dipakai Tuhan untuk menjadi berkat bagi orang lain. Ketika kita menjadi bejana yang indah berarti kita akan dipakai sebagai perabotan, atau juga bisa dipakai sebagai tempat menampung air. Hal tersebut akan memberkati orang lain. Menjadi berkat bukan hanya soal materi dan harta, namun juga dari cara kita hidup, dari sikap kita kepada sesama, dan tentunya ketika kita dipakai Tuhan sebagai alat-Nya untuk menjangkau jiwa bagi Tuhan.
Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!
Wahyu 3:19